Sayangi Ibumu, Sayangi Keluargamu

Suasana rumah yang sebelumnya friendly, tenang, seketika buyar begitu saja. Lagi-lagi ulah anak kecil


Sore itu aku merasa sangat bersalah.

Sikap manja dan kekanak-kanakkan-ku kembali membikin ulah. Suasana rumah yang sebelumnya friendly, tenang, seketika buyar begitu saja. Lagi-lagi ulah anak kecil. Bocah SMP yang maunya enak sendiri dan nggak pernah nurut. Ingatanku mundur ke beberapa tahun yang lalu, mengenang sebagian fase kisah si kecil nan nakal. . .

6 years ago

Kamar yang berantakan. Wajar saja buat seorang anak SMP, belum pandai mengatur diri. Meski begitu ia menganggap kamar temannya lebih tidak rapi lagi. Itu yang ia bilang pada kakaknya.
"Kenapa tadi pintunya gak mau dibuka?"

Ia masih saja terdiam. Wajah kecil riang itu tidak tampak. Seperti kedua pundaknya sedang memikul beban besar. Berat, tunduk dan hampa.

"Oke, kakak gak akan nanyain alasan itu lagi. Kakak hanya mau kamu menunjukkan sikap lebih dewasa. Lebih menghormati yang lebih tua."

Albi semakin tertunduk lesu. Selamanya ia tidak menyangka akan mengalami kejadian yang ia sekalipun tidak ingin melihatnya. Bahkan terpikirkan pun tidak. Dan ia yakin, semua manusia berhati nurani di belahan dunia manapun tidak akan pernah tega menyaksikan hal itu. Apalagi dengan alasan yang sama sekali tidak ia harapkan.

"Tidakkah kau sayang, Albi?"

Tentu saja ia sayang. Memiliki seseorang yang mencintainya dengan tulus. Seseorang yang selalu menjaganya, mendidiknya dan mengasuhnya. Wajahnya mulai basah.

"Kakak tahu kamu tidak ada maksud sejauh itu. Cobalah lebih mengerti perasaan orang lain. Bersikaplah lebih dewasa mulai sekarang..."

Semakin lama kakaknya melontarkan kalimat per kalimat semakin ia tidak mampu menahan diri lagi. Untuk pertama kalinya ia melakukan kesalahan dan ia tidak dimarahi atau sedikit pun dibentak. Sikap lembut kakaknya bak tamu asing yang membawa secercah rindu ---tidak ia duga.

"Jadilah anak yang baik, Albi.. Kau punya potensi cukup besar dalam dirimu. Jangan sampai potensi itu tercemar karena. . ."

"Albi sayang mama, kak..," isaknya.

“Kakak mengerti. Kakak percaya Albi.”

“Apakah mama akan maafin Albi?”

“Pasti.”

“Albi takut mama gak sayang lagi sama Albi..”

Sang kakak merangkulnya.

“Dengarkan kakak. Selama Albi dan kakak menjadi anak mama, mama tidak akan pernah tidak sayang sama kita. Mama selalu menyayangi kita apa adanya. Mama marah dan membentak karena ulah buruk kita itu adalah bentuk kasih sayangnya. Mama tidak ingin kita terlalu asyik bermain. Mama tidak ingin anak-anaknya mendapat pendidikan yang salah. Mama tidak mau melihat anak-anaknya punya perilaku buruk.”

“Dan satu lagi. Albi sudah hampir berumur baligh.  Sudah waktunya Albi harus bisa membedakan hal-hal baik dan buruk dengan mantap. Kakak yakin dengan potensi yang Albi miliki bisa membuat Albi menjadi orang hebat.”

Ya. Orang hebat. Janji yang diuar-uarkan sejak ia masih belajar menghitung satu tambah satu sama dengan dua. Semua manusia yang berhubungan darah dengan ayah-ibunya tahu ia akan, dan memang harus, menjadi orang hebat.

“Semakin Albi tumbuh besar, semakin besar pula masalah yang Albi akan hadapi,” tambah kakaknya.
Kata-kata itu bagaikan pasak kayu yang menghunus tanah, menyusup ke dalam relung hati sang kecil. Sejak hari itu ia tidak pernah melupakan kalimat nasihat dari kakaknya. Kalimat itu menjadi alarm pengingat baginya bahkan sampai 6 tahun kemudian.



---

Maka sayangilah ibumu dan keluargamu, kawan.

Cintailah mereka dengan tulus. Berikanlah pelukan hangatmu selagi mereka masih ada. Do’akanlah selalu ampunan bagi mereka di setiap sujudmu.

Walau kau terpisah beribu-ribu mil jauhnya.

-F

Darrasah, Cairo
2 November 2016
23.54