Sejak masa-masa sekolah saya sama sekali tidak memiliki minat
dalam dunia jurnalistik. Apalagi bercita-cita menjadi penulis. Di SD,
contohnya, minat saya waktu itu adalah pidato dan nyanyi. Kemudian
waktu SMP saya suka pelajaran bahasa Inggris dan nahwu shorof. Beranjak ke
masa putih abu-abu minat saya berganti kiblat lagi menuju sains dan matematika.
Baru di dunia perkuliahan ini saya temukan dunia yang lebih dalam
jangkauannya, lebih luas dimensinya dan lebih keras kompetisinya. Memang
benar apa yang kakak saya bilang waktu itu, semakin
engkau tumbuh besar, semakin besar pula masalah yang akan kau hadapi.
Persoalan-persoalan yang menjamur baik dalam bingkai lokal maupun
interlokal merupakan tantangan bagi semua aktivis, bahkan masyarakat
pada umumnya. Sehingga peran para pembaharu sangat dinantikan untuk
menciptakan solusi dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Oke, intinya, tulisan ini beranjak
dari berbagai pertanyaan yang diajukan kepada saya yaitu: apa motivasimu dalam menulis? Pertanyaan supermainstream. Se-mainstream-nya
pertanyaan gimana kuliah di
Mesir?. Ahiw.
Pertama: Seperti yang saya singgung di
paragraf kedua, bahwa peran para pembaharu sangat dibutuhkan dewasa ini. Apa
itu pembaharu? Siapa mereka? Yaitu siapa saja yang menemukan dan mengemukakan
solusi, ide dan atau kebijakan baru bagi kemaslahatan kelompok, baik
melalui lisan maupun tulisan, yang dengan hal tersebut tercipta tatanan
kelompok yang lebih baik. Meskipun para pembaharu ini jarang dikenal layaknya
artis-artis Bollywood, mereka
lebih berjasa dan berpengaruh peranannya. Mereka bagaikan 'gas thobi'i' yang tidak terlihat
wujudnya tapi mudah tercium baunya [?].
Kedua: Dengan menulis saya menjadi lebih
cepat dan kuat dalam menyerap pengetahuan. Perlu kita renungkan bahwa
menulis itu bernilai dua kali lipat daripada membaca. Mengapa? Karena ketika
kita menulis, otomatis mata kita akan membaca setiap huruf dan kata yang kita
tulis. Maka tak heran para ulama-ulama zaman klasik sangat kuat hafalannya
karena mereka tekun menuliskan ilmu yang ada di kepalanya sampai mampu
mengarang kitab berjilid-jilid. Tapi menulis saja tanpa rajin membaca pun
kurang tepat. Karena menulis itu ibarat menuangkan isi kepala yang telah
dicerna dari hasil observasi, termasuk membaca. Kalau jarang membaca ya sama
saja. Oke, gan.
Ketiga: Ibarat seseorang yang sedang
berjalan di atas pasir, menulis adalah meninggalkan jejak. Ketika seseorang
menulis, ia secara tidak langsung sedang membentuk ligamen-ligamen yang
menyusun kerangka opininya. Tulisan apa saja, termasuk tulisan humor. Dari
hasil tulisan itu setidaknya sang penulis akan mudah diingat dari
tulisan-tulisannya. Semakin banyak dan semakin bermanfaat tulisannya, semakin
tinggi pula popularitasnya. Semakin baik dan semakin unik gaya penulisannya,
semakin mudah pula orang mengenali namanya. Siapa sih yang tidak mau dikenal karena
suatu hal yang bernilai kebaikan?.
Keempat: Untuk menjadi seorang penulis hebat, tidak perlu menjadi ahli sastra. Yang diperlukan dalam menulis itu hanya satu modal: kesungguhan. Mulailah dari hal terkecil dan terdekat dulu di sekitar. Contoh: kalo kamu suka memasak, bagikanlah resep-resep favoritmu dengan teman dan keluarga dengan cara menuliskannya beserta tips-tips pribadi sendiri. Kalo kamu seorang gamer, tuliskanlah game-game favoritmu beserta deskripsi, tips dan trik sendiri untuk permainan tertentu. Jika kamu sering jalan-jalan, ceritakanlah pengalaman menarik yang kamu atau teman/keluargamu alami selama perjalanan tersebut dan buatlah daftar tempat-tempat favorit. Sederhana saja bukan?.
Kelima dan yang terakhir: Menulislah untuk masa depan.
Sampai sini saya kira poin yang saya maksud sudah jelas, bahwa
sebenarnya perbincangan seputar ‘apa itu motivasi menulis’ bukan suatu hal yang
rumit. Bahkan lebih condong relatif. Pada dasarnya, orang tekun melakukan suatu
hal itu tergantung pada kecintaannya pada hal yang ia tekuni tersebut. Jadi,
cintailah terlebih dahulu dunia tulis-menulis itu hingga kau temukan rasa
manisnya. Selamat menulis!.
-F
Nafak Azhar, 20 Januari 2017