Sebaris Pesan Amatir Buat Yang Hidup Di Akhir Zaman

Fenomena copy-paste tanpa tabayyun, menyebarnya hoax, fitnah, hinaan dan cacian seakan sudah larut tercampur dalam hidangan sehari-hari



Sebelumnya saya ingin menyatakan bahwa tulisan ini bukan dibuat berdasarkan rasa sok tahu, sok benar, sok mantap ataupun dengan tujuan untuk memaksakan opini ke khalayak publik. Saya sepenuhnya sadar dan bertanggungjawab atas isi dan maksud tulisan berikut. Jika terdapat kesamaan nama tokoh, peristiwa dan tempat itu hanya kebetulan semata tanpa ada unsur kesengajaan [?].

Skip.

Sejak beberapa minggu terakhir ini saya gerah tiap kali buka akun medsos, terutama Facebook. Fenomena copy-paste tanpa tabayyun, menyebarnya hoax, fitnah, hinaan dan cacian seakan sudah larut tercampur dalam hidangan sehari-hari. Sempat terpikirkan untuk menghapus akun medsos tersebut—dengan mengalkulasi berbagai pertimbangan. Kenyataannya, orientasi dan gaya hidup masyarakat sekarang sudah berpindah kiblat. Dunia maya adalah kebutuhan primer, bagi mayoritas mereka.

Ironisnya, dibanding 7 tahun yang lalu pas saat-saat saya masih suka bikin status alay pertama buat akun FB, saya cermati kemudaratan media sosial tersebut saat ini kian menyamai porsi kemaslahatannya. Bahkan bisa jadi lebih banyak. Sekarang sangat mudah kita jumpai orang-orang bergelar ‘sumbu pendek’ yang dengan entengnya mempraktikkan kebiasaan teledor: read-like-share. Kata share ini-lah letak titik masalahnya, yaitu menyebarluaskan suatu informasi tanpa sedikit pun melakukan identifikasi dan klarifikasi. Karena yang dikhawatirkan yaitu tersebarnya fitnah keji.  

Imam Asy-Syafi'i pernah berkata:

أن الكذب الذي نهاهم عنه هو الكذب الخفي وذلك الحديث عمن لا يعرف صدقه

 

Dari satu fitnah yang tersebar ini muncul berbagai fitnah lainnya yang dibuat-buat oleh golongan haters tingkat akut dengan tujuan memojokkan pihak yang dibencinya. Tidak hanya tokoh politik, bahkan para ulama pun menjadi sasaran mereka. Ulama yang mana mereka, para haters kemarin sore, sama sekali belum pernah bertatap muka langsung dengan mereka, bertolak sapa langsung, mendengarkan ceramah dan nasihatnya secara langsung, menggenggam tangannya secara langsung. Tiba-tiba saja hari ini tanpa ada meteor jatuh mereka berkoar-koar Said Aqil syiah lah, Cak Nun komunis lah, Gus Mus liberal lah, hanya berdasarkan informasi yang mereka baca selama satu menit di medsos. Kan lucu.

Selain itu, yang bikin saya gerah adalah tren ulama instan dan tren gua bener lo salah yang sudah sangat menjamur. Seakan-akan tanah Nusantara ini milik bapaknya, serasa anak jendral, mengklaim pendapatnya paling benar dan menyalahkan pendapat lawannya. Kefanatikannya sudah jauh mengalahkan kesadaran toleransinya. Dengan hanya bermodalkan pengetahuan yang ia kutip sana-sini di internet selama beberapa jam, ia sudah berani mendebat seorang alim yang sudah bertahun-tahun menimba ilmu dari para kyai dengan sanad keilmuan yang jelas. Ironis. Bahkan lebih ironis lagi ketika orang tersebut diakui sebagai ustaz/ulama oleh pengikutnya hanya karena ia pintar bicara. Banyak bertutur, minim tadabur. Ulama-ulama instan semacam ini, yang bergelar ‘ulama su’, lebih dikhawatirkan oleh Nabi daripada dajjal. Na’udzubillah.

Dan masih banyak lagi tetek bengek yang terlalu panjang jika saya sebutkan semua, yang kian membuat kehidupan dunia maya sekarang lebih terlihat bobrok. Dengan banyaknya dan mudahnya informasi sensitif tersebar di zaman modern ini, alangkah baiknya untuk tidak mudah percaya dan terpancing emosi. Dalam situasi-situasi seperti ini diam adalah emas. Diam dalam makna tidak ikut-ikutan menyebarkan informasi tertentu sebelum melakukan tabayyun. Sehingga kita terbebas dari menghina-hina tokoh politik dan figur publik—terutama ulama. Orang-orang seperti Habib Riziq, KH Said Aqil Siraj, Ustaz Yusuf Mansur, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), adalah orang-orang yang tidak patut kita caci maki, kita hina dan kita fitnah. Sudah seluas apa ilmu-mu hingga berani mengkritik mereka dengan kata-kata kotor?

Saya yakin di balik ‘keteledoran’ orang-orang tersebut, sebagian mereka masih punya titik balik dalam nuraninya untuk mengubah perspektif dan pandangan mereka sehingga tidak mudah terpancing emosi. Yah, walaupun untuk melakukannya terlalu berat. Hidup di zaman modern (baca: akhir zaman) ini terlalu rumit. Tapi masih rumit lagi untuk mengerti wanita. Rumit karena pengaruh teknologi itu sendiri yang menjadi alat ‘nakal’ penebar hoax. Dan sedihnya masyarakat Indonesia belum terlalu cerdas dalam menyaring informasi tersebut. Mending banyak-banyak istighfar aja. Mesyi ya basya?

-F

Bab el-Khalq, Nafak Azhar Darrosah, Kairo
9 Maret 2017